22 December 2007

Melihat Ulang Kultur Kehidupan Masyarakat Banten

I. Pendahuluan

Agama memegang peranan terpenting dalam tatanan kehidupan masyarakat suatu bangsa, karena kedaulatan hukum tertinggi hanya kedaulatan Allah, Prinsif inilah yang selalu diusung oleh sekelompok gerakan-gerakan yang memperjuangkan penerapan syari'at Islam di dalam sebuah negara yang orientasinya 'menjadikan Indonesia sebagai Darul Islam', walaupun realita yang kita lihat mengenai hubungan agama dengan negara masih merupakan wacana diskusi yang masih menyisakan pertanyaan, meski telah diperdebatkan oleh para pemikir Islam tempo dulu hingga sekarang, tapi tetap saja belum bisa membuahkan kata mufakat di seputar perdebatan itu. Tetapi anehnya sampai sekarang wacana ini masih bisa dikatakan sebuah wacana yang masih ngetren khususnya di tanah air kita, realisasi itu secara tidak langsung sudah terlihat, dengan banyaknya sejumlah daerah yang diformalisasikan ke dalam Syari'at Islam (Perda), yang beberapa diantaranya sudah menerapkan.




Menurut penulis, munculnya tren syariah ini lebih dipicu kepada ketidak- berdayaan sistem yang ada untuk mengatasi segala persoalan hidup yang menghimpit bangsa Indonesia saat ini. Krisis multidimensi, makin banyaknya pengangguran diikuti dengan kenaikan harga barang kebutuhan pokok, hingga berbagai bencana yang bertubi-tubi menghantam bangsa Indonesia. Di tengah problematika ekonomi, sosial dan politik itulah rakyat Indonesia kemudian lari ke Tuhan, mendekati agama. Hal ini pun didukung dengan derasnya wacana keagamaan yang disebar oleh media elektronik melalui sinetron-sinetron religi-mistik. Barangkali, berawal dari situ, Syari'ah Islam yang diyakini sebagai kedaulatan Allah yang diharapkan dapat menjadi solusi atas berbagai persoalan tersebut dan juga diyakini dapat menghentikan segala malapetaka.
Lebih dari itu, Alasan yang cukup kuat untuk ditegakannya hukum syari'ah di sebuah negara, yaitu Mengutip dari dialognya Abu Bakar ba’asyir (Amir majelis Mujahidin Indonesia) dengan Prof. Dr. Lobi Luqman, ketika ditanya tentang apa definisi kata ibadah yang terdapat didalam UUD 45 pasal 29 ayat 2 “Negara menjamin kebebasan dan kemerdekaaan tiap-tiap penduduk untuk beribadah menurut Agama dan kepercayaannya itu” karena memang di dalam UUD 45 tidak ada penjelasannya, maka makna ibadah yang difahami oleh Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) sendiri yaitu segala ucapan dan perbuatan yang diridhoi oleh Allah itulah yang disebut ibadah, oleh karena itu menerapkan Syari’ah Islam secara kaffah merupakan ibadah yang paling sempurna. jadi menurut MMI sendiri bahwa tuntutan syari’ah islam bukan saja diwajibkan oleh agama, bukan saja diwajibkan oleh Al-Qur’an, tetapi juga syah menurut konstitusi negara Indonesia.
Langkah awal bagi sekelompok harakah (gerakan) yang mengusung penegakan syari'ah Islam di sebuah negara, yaitu diawali dengan penerapan sistem ini ke berbagai daerah (Profinsi), yang lebih dikenal dengan sebutan sistem Perda (Peraturan Daerah). Ada sebuah faktor yang cukup berperan penting untuk bisa atau tidaknya perda Syari'ah Islam diformalisasikan ke dalam sebuah daerah, yaitu faktor kultur kehidupan masyarakat daerah itu sendiri. Dalam hal ini penulis ingin melirik daerah banten dari sisi kultur masyarakatnya, apakah dengan kultur ini sistem syari’ah Islam bisa diaplikasikan di daerah banten, karena memang banyak yang mengisukan bahwa banten termasuk daerah nomer dua yang bisa menerapkan sistem Syari’ah Islam, setelah daerah Nanggoroe Aceh Darussalam.

II. Peran Kiyai dan Jawara Mewarnai Kehidupan Masyarakat Banten

kajian kebudayaan Banten tidak terlepas dari peran dan pengaruh dua kelompok masyarakat, yakni kiyai dan jawara, Meskipun kini kiayi dan jawara terkesan sebagai kelompok yang terpisahkan, tetapi dalam kesejarahan banten tempo dulu, kedua kelompok ini memiliki kaitan yang erat.
Sebuah wadah sosial dan keagamaan yang telah tumbuh semenjak awal-awal perkembangan Islam di Banten, bahkan semenjak masih berdirinya kerajaaan Hindu dan Budha di daerah Banten yang masih bertahan yaitu pesantren. Pemimpin dari sebuah pesantren adalah seorang kiyai, kapabilitas seorang kiyai pada masa itu dikenal dengan ketinggian ilmu agama dan ilmu kanuragannya, sehingga peran kiyai menarik perhatian banyak orang untuk berguru dan bersedia menjadi murid seorang kiyai. Pesantren sewaktu itu terletak di daerah yang cukup terpencil, sehingga keselamatan seorang muridpun cukup terancam dengan aksi anarkis preman-preman deso, maka dari situ seorang kiyai pun dituntut untuk mengajarkan ilmu kanuragannya kepada setiap murid demi keselamatan mereka.
Seorang murid yang mempunyai minat dan kemampuan dalam bidang intelektual disebut dengan Santri. Santri inilah yang meneruskan dakwah kiyai kemasyarakat secara luas, sedangkan sebagian santri yang memiliki kencedurangan dalam bidang kesaktian atau kedigjayaan yang kemudian dikenal dengan istilah jawara. Karena itu ada pepatah yang berkembang di masyarakat bahwa jawara sejati yaitu tentarane kiyai
Dalam wacana kekinian istilah kiyai dan jawara menjadi subkultur yang berbeda dan terpisahkan, orientasi dari misi kiyai sendiri itu diidentikan dengan mengajak kepada hal kebaikan, yang mempunyai pengaruh kharismatik atau berwibawa dan tetap mempunyai sifat sederhana walaupun kedudukan sosialnya yang istimewa, lebih dari itu kiyai juga bisa dikatakan sebagai guru besar agama dalam masyarakat Banten. Adapun dengan seseorang yang menyandang gelar jawara biasanya mengadu pada dua makna, yaitu, negatif dan derogratif (merendahkan), maka dari itu istilah jawara pun terkadang digunakan terhadap orang biasa, yang mempunyai sikap sosohoreun (derogratif) terhadap orang lain.
Adapun dengan peran kiyai masa sekarang, bukan hanya sebatas guru ngaji (alQu'an), guru kitab kuning (kitab-kitab klasik) ataupun seseorang yang mengajarkan ilmu ketarekatan yang mengarah pada kedigjayaan (kesaktian) Sebagaimana halnya peran kiyai tempo dulu, tapi peran kiyai di massa sekarang sudah cukup marak yang terjun ke dunia di luar wilayah keagamaan - khususnya dalam bidang politik dan ekonomi -, walaupun dalam sisi lain peran nya sebagai guru agama tidak pudar begitu saja, karena memang arus modernisasi yang menuntut kiyai untuk ikut andil dalam hal itu, walaupun banyak dari kalangan orang yang beranggapan bahwa terjunnya kiyai ke dunia di luar wilayah keagamaan itu lebih diakibatkan oleh materi dan kedudukan yang menuntut profesionalisme dalam segala bidang.
Perubahan sosial yang cukup besar yang terjadi pada rakyat Banten telah merubah persepsi masyarakat tentang peran-peran jawara. Bahkan sebagian masyarakat ada yang berkeinginan untuk menghilangkan istilah jawara itu, karena memang citra masyarakat budaya Banten yang selama ini diidentikan dengan kekerasan yang melekat di masyarakat Banten bisa dihilangkan. Tapi dalam dunia publik pemerintahan Banten sendiri yang berperan penuh dalam menduduki sektor-sektor tinggi dalam bidang ekonomi, sosial, dan politik yaitu seorang jawara. Sehingga dalam persepsi sebagian masyarakat, baik itu orang Banten sendiri maupun orang luar Banten menyatakan bahwa propinsi Banten dikuasai oleh para jawara.

III. Jaringan dan Hubungan Kiyai dan Jawara di Arena Publik

Kiyai sebagai salah satu tokoh yang mempengaruhi corak gaya hidup masyarakat Banten, hubungan antara kiyai dan masyarakat yang tentunya tak terlepas dari sebuah jaringan, jaringan sosial ini bisa ditemukan dari sebuah kekerabatan, hubungan antara guru dan murid, dan bekerjasamanya dengan pesantren atau lembaga lain. Ini semua termasuk wadah lokal yang tentunya tidak bisa menjaring massa secara publik di luar banten sendiri, adapun jaringan yang dibentuk oleh para kiyai yang bersifat interlokal, yaitu Nahdhatul Ulama (NU) sebuah majelis perkumpulan para kiyai yang menjaring anak-anak muda dalam bidang keintelektualan, bahkan wadah ini sudah termasuk ormas keagamaan terbesar di Indonesia yang pastinya mendapatkan sorotan besar dari masyarakat. Walaupun secara kronoligis tokoh yang mendirikan NU sendiri, bukan dari kalangan kiyai Banten, tapi tidak sedikit pula aset NU dari kiyai-kiyai Banten yang mempunyai peran penting di ormas keagamaan ini. Bahkan kiyai Banten dalam majelis ini menduduki sektor-sektor yang cukup tinggi. Adapun sebuah jaringan yang bisa membawa massa besar di dalam dunia politik, yaitu bisa kita lihat dengan bermunculannya partai-partai Islam yang kebanyakan dipimpin langsung sesorang yang mempunyai identitas kiyai, dan ini merupakan sebuah wadah yang bisa memegang peranan penting bukan hanya dalam ukuran daerah - terkhusus daerah banten -, bahkan sudah bisa menjadi bagian peranan penting dari sebuah negara yang sudah menjadi ukuran berbilang para kiyai yang duduk di perlemen-perlemen negara.
Begitupun dengan peran Para jawara dalam membangun jaringan hubungan antara mereka dan dengan pihak yang lain. Salah satu khas dalam kehidupan antara mereka di sebuah jaringan adalah rasa solidaritas yang tinggi, apalagi kalau yang dihadapinya adalah orang yang memiliki hubungan emosional, seperti adanya hubungan kekerabatan, seguru-seilmu, sepertemenan dan lain sebagainya. Jaringan yang dibentuk oleh para jawar tersebut kini tidak hanya bersifat non formal atau tradisional tetapi juga mempunyai masa tersendiri, yakni dengan terbentuknya P3SBBI (Persatuan Pendekar Persilatan dan Seni Budaya Banten Indonesia). Organisasi para jawara ini menghimpun lebih dari 100 perguruan yang tersebar di 17 propinsi di Indonesia. Organisasi ini berpusat di serang - ibukota propinsi Banten - yang kini dipimpin oleh H. Tb. Khasan Sokhib, ada hal yang menarik dari keluarga besar H. Tb. Casan Sochib bahwa putri dari ketua P3SBBI yaitu Hj. Atut Chosiya seorang Gubernur Propinsi Banten yang terpilih pada pemilu CAWAGUB Tahun periode sekarang, dan ini terlihat bahwa pada massa sekarang, peran dari jawarapun bukan hanya dalam bidang kedigjayaan (kesaktian) semata, tapi bisa lebih unjuk gigi di dalam ruang publik. Ini merupakan penomena yang cukup Fantastic. Kalau kembali ke belakang, sebuah historis dari istilah jawara sendiri yang selalu diidentikan dengan negatif dan derogratif (merendahkan). Tapi sekarang seorang dari keturunan jawara, bahkan dari anak kandungnya sendiri, dapat dipercaya dan diterima sebagai pemimpin Banten yang berkedudukan sebagai Decision Maker secara penuh dalam mengatur pemerintahan provinsi Banten


IV. Dengan Kaloborasi Perda dan Subkultur (Kiyai dan Jawara), Apakah Bisa Sistem Perda Syari'ah Diaplikasikan di Banten?

Di Pendahuluan tulisan ini, penulis telah singgung, bahwa cukup banyak orang yang mengisukan bahwa daerah Banten termasuk daerah nomer dua yang bisa diterapi 'sistem Syari'ah Islam (perda)', alasan mereka tidak lain, melainkan nuansa budaya Islam di daerah Banten dari dulu hingga saat ini sangat kental, terbukti dengan hadirnya para ulama dan pesantren-pesantren di setiap pelosok wilayah Banten. selaku wong banten, ungkapan ini mungkin menuntut kita untuk membuktikan 'apakah ungkapan itu benar?' yang tentunya ungkapan ini tidak terlepas dari dua subkultur yang mewarnai kehidupan masyarakat Banten, yaitu peran jawara dan kiyai.
Jaringan Kiyai dan Jawara adalah sebuah wadah Subkultural yang mewarnai gaya hidup masyarakat banten, wadah jaringan yang paling luas dari para kiyai sendiri yaitu sebuah ormas keagamaan terbesar di Indonesia Nahdhatu Ulama (NU), kalau kita melihat sikap NU sendiri terhadap penerapan sistem syari’ah Islam, dilihat dari suasana sidang konstituante pasca pemilu 1955, Masyumi dan NU merupakan kekuatan utama pengusung Islam sebagai dasar Negara. Tetapi realita yang kita hadapi sekarang berbeda jauh dari sebelumnya, sekarang NU termasuk Ormas yang menentang keras terhadap penerapan syari’ah Islam,Bahkan lebih dari itu NU menerima Indonesia sebagai model final hidup bernegara yang bhineka. Ketika Ketua Umum PBNU, KH Hasyim Muzadi, di wawancarai oleh pihak GATRA Rabu, 19 April 2007 lalu, di Gedung PBNU, Jakarta Pusat. Tentang sikap NU sendiri terahadap perda syari’ah,
NU sendiri menyikapi bahwa Syariat Islam sekarang diterima dengan apriori. Pro dan kontra. Satu sisi, ada tuntutan, syariat harus dilakukan secara tekstual. Di lain pihak, ada orang yang mendengar kata syariat saja sudah ngeri. Istilah Arabnya, ada ifrad (berlebihan mengamalkan beragama) dan tafrid (meremehkan, longgar, dan cuek dalam beragama). Menurut NU, masalahnya bukan pro kontra syariat. Tapi bagaimana pola metodologis pengembangan syariat dalam NKRI. Syariat tidak boleh dihadapkan dengan negara. NU sudah punya polanya. Bahwa tathbiq al-syariat (aplikasi syariat) secara tekstual dilakukan dalam civil society tidak dalam nation-state . Aplikasi tekstual itu untuk jamaah NU, untuk jamaah Islam sendiri. Dia harus taat beribadah, taat berzakat, dan sebagainya. Mengutip dari firman Allah SWT, wa man lam yahkum bima anzalallahu fa ulaika humul kafirun, (barang siapa tidak menghukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu orang kafir), ungkapan man (barang siapa) di sini maksudnya "orang", bukan "institusi".
Disini mungkin kita perlu ketahui walaupun secara tegas NU menyatakan bahwa menerima indonesia sebagai model final dengan sistem bernegara yang sekarang ini. Tapi dibalik itu tidak sedikit juga dari tokoh-tokoh NU yang mendukung dengan sistem syari'ah Islam, apalagi dengan didukung baground karektiristik kehidupan kaum salafy, yang bisa dibilang termasuk kaum fanatisme terhadap ajaran Islam.
Adapun dengan peran jawara sendiri yang mempunyai wadah jaringan di arena publik pemerintahan banten, menurut penulis bisa dikategorikan termasuk sekelompok orang yang lebih merasa damai dengan peraturan kehidupan masyarakat banten sekarang, Karena kebanyakan orang tempo dulu secara umum memandang jawara itu di identikan dengan negative dan derogratif (merendahkan) yang lain. lebih dari itu secara historis juga, bahwa munculnya istilah jawara itu berawal dari sebagian kelompok santri yang lebih cenderung kepada ilmu yang bersifat kedigjayaan. Dengan watak komplekasi yang bersifat sebagai gaya hidup keras maka, dikala seorang jawara ada kesengketaan dengan yang lain secara tidak langsung, mendukung sekali peran jawara akan kearah yang berdampak kerusuhan atau keanarkisan. Demikian pula dengan jawara masa sekarang, secara karakteristik tidak akan jauh beda dengan jawara tempo dulu. Begitupula dengan sistem perda dalam masalah sanksi pelanggaran hudud (batasan-batasan hukum) akan lebih berat dibandingkan dengan sistem pemerintahan sekarang. Mungkin inilah salah satu faktor yang tidak mendukung para jawara di terapkan perda syari'ah didaerah banten. contoh kecil pula yang bisa penulis ambil dari karekteristik gubernur Banten yang sekarang HJ. Atut Chosiyah salah satu dari putri ketua kumpulan jawara (H.Khasan Kholid), kalaupun beliau tidak setuju dengan sistem banten yang sekarang ini, mungkin tidak ingin berkecimpung di perlemen pemerintahan banten yang sekarang, apalagi terlihat beliaulah yang mempunyai hak penuh sebagai Desain Maker terhadap pemerintahan yang sekarang.


V. Penutup

Dilihat dari latarbelakang subkultural yang cukup berperan dalam mewarnai kehidup masyarkat banten, untuk formalisasi syari'ah Islam secara penuh di daerah banten sendiri mungkin masih banyak pertimbangan dan perlu waktu, walaupun secara realita experimen (percobaan) sebagian dari perda syari'ah yang di terapkan sudah mulai menjamur diberbagai daerah banten, dan lebih dari itu semangat untuk menerapkan syari’ah Islam di daerah banten telah menguat sejak 2001 hal ini bisa dilihat dengan mulai diselenggarakannya Konferensi Regional Daerah tentang penerapan syariáh Islam yang diselenggarakan HTI Banten (Juli 2001), diselenggarakannya Majelis Akhir Bulan (MAB) oleh DPW PKS Banten sepanjang 2001-2002, terbentuknya Panitia Persiapan Penerapan Syariáh Islam di Banten (P3SIB, September 2002), terbentuknya FSPP Banten (Desember 2002), diselenggarakannya konsolidasi elemen umat Islam Banten untuk penerapan Syariáh Islam (Kerjasama FSPP dan P3SIB, Maret 2004) dan diselenggarakannya Semiloka Menggagas Kongres Umat Islam Banten oleh MUI Banten (Pebruari 2005) dilanjutkan dengan Semiloka Mempersiapkan KUIB (Januari 2006). Tapi aksi-aksi dari kelompok ini selalu berbenturan dengan orang-orang perlemen yang ada di arena publik, bukankah kewenangan menerapkan atau memformalkan Syariah Islam itu berada pada negara (termasuk provinsi) bukan pada rakyat (umat). Tugas utama rakyat atau elemen-elemen umat adalah mendorong negara agar secara sadar berkehendak menerapkan Syariáh Islam secara kaaffah. Jadi kekuatan intra dan ekstra dari pihak parlemen dalam hal ini cukup krusial demi terlaksananya formalisasi syariah di daerah kita. Jikalau negara Indonesia khususnya daerah banten sendiri bisa menjadi baldatun thoyibatun warobbun ghofur dengan sistem syari'ah Islam semoga usaha untuk memformalisasikan perda Syari'ah bisa cepat di realisasikan.

Referensi:
1. Dialog umum resonansi. Radikalisme Umat Beragama. Yogyakarta 2006
2. Biro Humas Setda Provinsi Banten.Tasbih dan Golok. Serang Biro Humas Setda Provinsi Banten. cet 1 2005
3. Redaksi NU online. Bila Syari'ah Harfiyah Negara Retak. Nu online.com 2007
4. M. Ali Musthafa. Menyongsong Kongres Umat Islam Baten. 2007


0 comments: