22 December 2007

Merombak tarawih ‘Ala Indonesia

Apakah makna puasa dibulan Ramadhan ini bagi kita semua,? Pertanyaan ini layak diajukan terus-menerus setiap kali kita memasuki bulan suci, agar kita tidak terlelap dalam sikap yang “lugu”, yaitu hanya menerima kedatangan bulan suci tersebut sebagai kerutinan yang sudah biasa.


Ada sejumlah hal yang menarik, berkenaan dengan cara menyambut kedatangan bulan ini, Beberapa hari menjelang dan hingga hari pertama bulan Ramadhan tiba, cukup lumayan banyak saya menerima sms (layanan pesan cepat) yang berisi ucapan selamat atas datangnya bulan itu, permintaan maaf, serta cetusan rasa gembira karena tibanya bulan yang akan menghantar umat Islam kepada fitrahnya yang asal. Begitupula ekspresi masyarakat masri dalam menyambut kedatangan bulan suci, bisa kita lihat hampir disemua sudut kota, spanduk dan poster ucapan marhaban ya ramadhan (selamat atas datangnya bulan suci) ini dipasang, ditambah hiasan lampu-lampu clasik (fanus) yang memperindah jalanan di waktu malam tiba, belum lagi ketika kita ngabuburit sasaran pandangan kita biasanya tidak akan meleset kesebuah tenda yang bertuliskan maidaturrahman, sebuah tempat ifthor (berbuka puasa) yang disediakan oleh para dermawan untuk pekerja, pelajar, atau orang-orang yang tidak sempat berbuka di rumahnya. Hal ini mengesankan bahwa sambutan masyarakat akan kedatangan bulan Ramadan itu begitu antusias. Ramadhan di jadikan sebuah sarana untuk berlomba-lomba dalam beramal. Dari ekspresi sambutan itu bisa menunjukan bahwa masyarakat memang benar-benar akan mengalami suatu “peristiwa spiritual” yang dahsyat, dan setelah itu akan ada semacam new beginning, permulaan hari baru dimana masyarakat telah mengalami suatu transformasi atau perubahan penting dalam dirinya.

Mungkin kita semua mengakui bahwa ramadhan adalah bulan yang kaya dengan ibadah (ritual), Kalau ritual ini bisa kita nikmati dan menghayati dan jiwa merasa terkontaminasi karena pengaruh ritualitas kita, itu petanda ritual bisa menghantarkan kita kesinggasana relung spiritualitas, kalau hal ini sudah bisa kita aflikasikan dalam semua ritualitas dibulan ramadhan, insyallah setelah melalui bulan yang suci ini, wajah masyarakat kita akan berubah total, akan mengalami perubahan kualitatif menuju tahap yang lebih baik.

Kalau mau me-review kebelakang disaat kita masih di tanah air, tidak sedikit didaerah kita yang melaksanakan shalat tarawih, sebuah ritual yang tidak kita dapatkan dibulan-bulan lain, yaitu kurang nilai penghayatannya, bahkan ada kesan terburu-buru yang bisa mengakibatkan rusaknya bacaan seorang imam shalat. Tentunya hal ini jauh berbeda dengan realita pelaksanaan tarawih yang kita rasakan dinegri sini, bahkan dinegri-negri timur lainnya yang mayoritas penduduknya muslim. mereka begitu menghayati dan menikmati akan keindahan ayat suci al-Qur’an yang dilantunkan oleh seorang imam. Bahkan lebih dari itu shalat tarawih dijadikan sebagai ajang untuk menghatamkan al-Qur’an samapi 30 juz. Hal yang luar biasa bukan?? Mungkin diindonesia budaya seperti ini bisa terhitung masih langka. bahkan kebanyakan diderah kita surat yang dipakai untuk shalat tarawih yaitu surat An-Naba yang sudah menjadi rumusan dimulai dari surat At-Takasur sampai surat An-Nass. Rumusan ini bukan didapatkan dari al-Qur’an, hadits atau hujah-hujah yang lainnya, melainkan hanya sebuah unsur akal-akalan para ulama kita yang dijadikan sebagai kode etik supaya mempermudah menghafal dan mempercepat shalat. Kesan ini menunjukan bahwa sikap orang kita (indonesia) terhadap ritual hanya “ arep wenakee wae”.

Sebetulnya kalau kita tahu asal dari kata “tarawih” yaitu taruwiyah yang artinya bersantai-santai, jadi shalat tarawih itu adalah qiyam ramadhan yang dikerjakan secara tenang dan santai, yang bertujuan untuk menghidupkan susasana malam ramadhan.
mengutif hadist dari Abu Hurairah r.a. menceritakan bahwa Nabi saw. Sangat mengajurkan qiyam ramadhan dengan tidak mewajibkannya. Kemudian Nabi saw. Bersabda, “Siapa yang mendirikan shalat di malam Ramadhan dengan penuh keimanan dan harapan, maka ia diampuni dosa-dosanya yang telah lampau.” (muttafaq alaih).

Lebih dari itu kalau dilihat dari sisi sejarah, awal pertama kali rasulullah melaksanakan shalat tarawih dikutif dari hadist Bukhari diriwayatkan dari Abdurrahman ibn Abd (Al-Qari), ia berkata: Pada suatu malam di bulan Ramadhan, aku keluar bersama Umar menuju masjid. Kami melihat banyak orang sedang shalat sendiri-sendiri. Masing-masing terpisah dari yang lainnya. Melihat hal itu, Umar berkata, “Seandainya orang-orang itu aku kumpulkan dalam satu jamaah yang dipimpin oleh seorang imam, tentu lebih baik.”
Kemudian Umar menetapkan niatnya itu dan mengumpulkan mereka semua dalam satu jamaah yang dipimpin oleh Ubay ibn Kaab.
Abdurrahman berkata lagi bahwa setelah itu, pada malam yang lain, aku keluar lagi bersama Umar, sementara orang-orang sedang melaksanakan shalat mereka di belakang seorang imam. Ketika menyaksikan hal itu, Umar berkata, “Ni’matil bid’ah hâdzihi.”
“Inilah bid’ah yang paling baik”, begitulah kata Khalifah Umar dalam Shahîh Al-Bukhârî bab “Shalâh Tarâwîh”. Meskipun bid’ah tapi ini baik, makanya ada istilah bid’ah hasanah.
Kisah ini terjadi kira-kira dipertengahan masa pemerintahan Khalifah Umar, jadi pada masa Nabi saw, Abu Bakar, dan paruh pertama masa Umar, belum ada shalat tarawih. Biasanya disebut qiyâm al-layl tanpa berjamaah. Dari penuturan kisah ini, kita bisa ambil kesimpulan bahwa: lebih afdhol (utama) shalat dirumah dengan keadan jiwa yang tenang dan santai yang akan mendekatkan ke arah nilai spiritual yang tentunya akan lebih tersasa atsar dari sebuah ritual, dari pada shalat tarawih berjama’ah dimesjid dengan keadaan tergesa-gesa yang akan mengakibatkan rusaknya kaidah bacaan ayat suci al-Qur’an, dan jauh dari nilai penghayatannya. Maksud saya asumsi seperti ini bisa dijadikan alternatif lain oleh masyarakat kita, dikala kita sedang fhutur atau merasa tidak kuat untuk melaksanakan shalat berjama’ah dimesjid, yang kalau dipaksakan akan mengakibatkan kesan baranggusuh teuparuguh.
Berbicara masalah ritual yang satu ini (tarawih), banyak dikalangan ulama kita yang masih mempermasalahkan sebuah opini lama, yaitu jaumlah bilangan rakaat shalat tarawih, perlu kita ketahu di Islam jalur suni yang mendominasi Indonesia yaitu mahzab Syafei yang di wakili oleh kelompok yang bernama NU , mensyaratkan bahwa sholat tarwih itu 23 rakaat , 20 sholat sunah lail ditambah dengan 3 sholat witir atau sholat penutup
20 raka'at itu terdiri dari 4 raka'at salam atau 2 raka'at salam. Adapun ormas yang mendominasi rangking ke dua diindonesia yaitu Islam Reformis ( Pembaharu) yang diwakili oleh kelompok yang bernama Muhamadiyah mensyaratkan bahwa sholat tarawih itu 11 raka'at , delapan raka'at shalat sunnah tarawih, dan tiga rakaat yaitu shalat sunnah witir

Memang opini ini masih menjadi sebuah wacana yang cukup santer dikalangan masyarakat kita. NU dan Muhamadiyah dari catatan sejarah perkembangan Islam di Indonesia pernah berseteru (ribut) dan menurut saya ini bisa dikatakan wajar dari sepanjang abad sejak rosul wafat sampai akhir jaman hanya Yahudi dengan yahudi , Nasrani dengan nasrani , Islam dengan yahudi, Islam dengan Nasrani , Islam Suni dengan Islam Syiah , Islam Suni Hambali dengan Syafei , islam suni Syafei dengan Islam reformis dll selalu berseteru (ribut), lagipula pendapat dari masing-masing kalangan mereka toh bisa dipertanggung jawabkan. tapi etika ibadah shalat tarawih yang dijadikan sebuah momen ibadah santai dan penuh dengan ketenangan dan penghayatan yang bertujuan untuk mengidupkan suasana malam ramadhan itu tidak bisa dikotak katik, ini sebuah wacana yang kurang perhatian dari ulama ataupun kita semua. Dari sini penulis ingin mangajak kepada teman-teman semua yang suatu saat nanti akan berkifrah didaerahnya masing-masing, untuk bisa merombak ritu’al ‘ala indonesia. Yang tentunya tak terlepas dari sebuah etika, karena “orang yang jiwanya shalat lebih bik dari shalat itu sendiri” Semoga!!!
Rabu,19 september 2007. M /08 ramadhan 1428 .H


0 comments: